JAKARTA – Pimpinan Kwartir Pramuka haruslah sosok yang berintegritas, bersih dari korupsi dan punya jiwa kepramukaan. Pernyataan ini disampaikan Dr. Laode Muhammad Syarif, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019.
“Mereka jadi teladan dan contoh bagi adik-adik pramuka siaga, penggalang, penegak dan pandega. Adik-adik akan sedih dan bingung jika ada ketua Kwartirnya ditangkap karena kasus korupsi,” ujar Laode Syarif dalam keterangannya, Jumat, 1 Agustus 2025.
Beberapa waktu lalu, KPK menangkap tangan Topan Obaja Putra Ginting dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Topan adalah Kepala Dinas PUPR, Ketua Kwarda Pramuka Sumatera Utara, dan sebelumnya menjadi Ketua Kwarcab Pramuka Kota Medan.
Satu pekan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menahan Deni Nurdyana Hadimin dan dua tersangka lain dalam kasus Korupsi Dana Hibah Pramuka Rp 6,5 miliar. Deni adalah Ketua Harian Kwarda Pramuka Jawa Barat dan Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kwarnas Pramuka.
Dua kasus korupsi lainnya terjadi di Medan dan Tangerang Selatan yang melibatkan ketua dan pejabat Kwartir. Sampai saat ini, pimpinan Kwarnas belum mengumumkan pemberhentian Deni Nurdyana dari jabatannya di Kwarnas. Mereka juga tidak bersuara dan bersikap terhadap kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pimpinan Kwartir.
Sejak pekan lalu, di grup-grup WA kepramukaan beredar tentang laporan penugasan yang disampaikan adik-adik penegak Sangga Pendobrak dari Kwarda Jawa Barat kepada ketua Kwarnas.
Mereka mendapatkan tugas dari pembinanya berdasarkan materi Syarat Kecakapan Umum Penegak dalam bentuk penyelesaian kasus tentang topik korupsi oleh pramuka dan implementasi Dasa Dharma ke-9 (Bertanggung jawab dan dapat dipercaya) dan ke-10 (Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Dari hasil riset lewat Google, Instagram, Facebook, kajian perundangan dan peraturan pemerintah, Sangga Pendobrak menemukan data seorang mantan narapidana kasus korupsi yang menjadi Andalan Nasional (pengurus Kwarnas) periode 2023-2028). Pekan lalu, sosok ini bahkan diangkat sebagai Kepala Pusdiklat salah satu kwartir di Indonesia Timur.
Adik-adik penegak Sangga Pendobrak dari Jawa Barat mengkaji aspek etika dan moral, tata kelola organisasi, potensi kontra produktif dan penolakan sosial, dan aturan internal organisasi. Mereka menyimpulkan bahwa seorang terpidana kasus korupsi tidak layak menjadi pengurus di Gerakan Pramuka.
Menurut mereka, larangan itu mencerminkan komitmen organisasi terhadap nilai-nilai integritas dan kepercayaan publik yang tidak bisa ditawar.
“Laporan penugasan adik-adik itu harus kita dukung. Pendidikan anti-korupsi membutuhkan keteladanan dari pimpinan Kwartir. Dasa Dharma Pramuka jangan hanya sekedar diucapkan atau jadi jargon saja,” kata Laode Syarif.
Pada 27 Juni 2019, Laode Syarif selaku Wakil Ketua KPK menandatangani perjanjian kerja sama dengan Ketua Kwarnas Komjen Pol (Purn) Budi Waseso terkait pendidikan anti-korupsi.
“Kita ingin Pramuka ikut terlibat dalam upaya pencegahan korupsi serta pengawasan,” ujar Laode Syarif saat itu.
Ketua Kwarnas Budi Waseso menyambut baik kerja sama tersebut. Saat itu, Budi Waseso menyampaikan bahwa salah satu alasan dibentuknya Gerakan Pramuka memang untuk menciptakan generasi anak bangsa yang berintegritas.
“Sebab problem bangsa saat ini lebih banyak berkaitan dengan moralitas masyarakatnya,” ujar Budi Waseso, yang pernah menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
Laode Syarif — yang pernah menjadi pramuka siaga-penggalang (di Kwarcab Muna, Sulawesi Tenggara) dan penegak-pandega di Kwarcab Makassar — memberikan saran agar tidak terjadi lagi kasus korupsi yang melanda pimpinan Kwartir.
Pertama, dalam memilih ketua, harus memperhatikan catatan integritasnya. Menurutnya, sosok yang menjadi ketua Kwarnas harus yang berintegritas, karena Kwarnas menjadi patokan di Gerakan Pramuka.
“Jadi, jangan memilih ketua Kwartir hanya karena calon tersebut punya jabatan atau jadi tokoh,” tegasnya.
Kedua, proses pemilihan ketua Kwartir harus terbuka dan transparan. Sehingga, orang-orang yang tidak memiliki integritas jangan dipilih. Ketiga, sosok calon ketua Kwartir harus pernah mengalami proses pendidikan di kepramukaan, sebagai pramuka siaga, penggalang, penegak dan pandega.
“Jiwa pramuka-nya jelas,” ujar Laode Syarif yang pernah jadi peserta Jambore Nasional dan Asia Pasifik tahun 1981 di Cibubur.
Menurutnya, jika ketua Kwartir berasal dari sosok yang mengalami proses pendidikan kepramukaan, bakal mencintai organisasi yang telah membesarkannya.
Sementara itu koordinator Forum Pramuka Bestari Dr I Gusti Ayu Diah Yuniti setuju dengan usulan Laode Syarif. Dosen Universitas Mahasaraswati Denpasar itu menyebut bahwa faktor penyebab rusaknya budaya organisasi karena rekrutmen kepemimpinan di Gerakan Pramuka yang sangat terbuka, politis dan transaksional.
“Sosok baru yang tidak memiliki jiwa pramuka dan belum pernah mengalami proses pendidikan kepramukaan, ujug-ujug menjadi ketua Kwartir. Ternyata, mereka membawa nilai-nilai baru yang merusak seperti korupsi, nepotisme, tertutup dan anti-kritik,” ujarnya.
Akibatnya, lanjut Diah Yuniti, nilai-nilai keteladanan, kejujuran, persaudaraan, keterbukaan, kesantunan, pengabdian, kemajemukan, kasih sayang, tanggungjawab dan profesionalisme yang merupakan nilai dasar Gerakan Pramuka.
“Jadi terdegradasi ke titik terendah yang merusak citra Gerakan Pramuka,” ujar Yuniti yang pernah menjadi Ketua Dewan Kerja Pramuka Penegak dan Pandega Bali, tahun 1990-an.
Menurutnya, kepemimpinan Kwartir oleh orang baru dan tidak memiliki jiwa pramuka, ternyata tidak mampu menjadi sumber keteladanan tetapi malah berorientasi kekuasaan yang pragmatis transaksional.
